WEJANGAN






Awal mulanya, sore itu dibawah naungan atap-atap bocor nan di terangi tembusnya sinar jingga, sementara diluar sanah meliuk-liuk suara  nada murai batu dan terselip nyanyian gemuruh kuda besi, sang siang yang sudah mulai menutup laga dan segera bermetafosa menjadi gelap gulita, pria tua dengan wajah lesuh dan kusam duduk diatas amben-amben reog dan tirus pipinya terpapak surya terlihat nampak setengah gerhana, tersedia pula secangkir teh hangat dan kipas anyaman bambu, Ia berkata dihadapan cucunya bersama petuah akan sebuah bentuk prilaku kebaikan sesama manusia.

(“Nangkamu jadi anak yang baik dan bersikap baik kepada sesama Manusia, baik orang tua, guru ataupun teman, tidak boleh nakal, jangan suka berkelahi. Shalat, Ngaji dan belajar kudu ditekuni !”)

dengan usapan  tanganya yang kasar beliau mengusap punggungku sembari menyuarakan nasihat itu, aku tak dapat menyangkal, petuahnya dapat dibenarkan.

Beberapa saat kemudian seiring mentari mulai terbenam dan sinarnya semakin menjauh di ujung barat, dibarengi bolham-bolham pijar mulai dinyalakan dan orang-orang mulai masuk rumah, senja mulai tenggelam terlahap waktu, ia meredupkan dirinya, lalu anak-anak lain menyamparku untuk berangkat mengaji.

Aku bergegas bersama mereka, kami berjalan melewati tanah krikil, beberapa warung, rumah dan pepohonan palam disepanjang jalan. Aku masih dapat mengingat akan kejadian dimana kala itu kawanku memainkan sajadahnya lalu terdampar dimataku dan seketika  menjadi perih.

 Setibanya di musola, sang ustad mulai memimpin anak-anak untuk berwudlu kemudian Shalat magrib, saat itu sebagian dari anak-anak ada yang bergurau dan bercanda riang, bahkan ketika sang imam selesai membaca surat alfatihah beberapa anak sengaja bertriak mengucapkan (Amin) dengan sangat keras dan melengking ubahnya cengkok dangdut.

Seusai shalat magrib kami belajar membaca Al-Qurr’an, satu persatu dari santri dipimpin belajar mengaji oleh salah seorang Ustad, beliau yang mengenakan muslim dengan sorbanya terlihat amat sangat relijius dan agamawan. Tetapi malam itu Tati yang sudah tahap Juz’Ama terlihat amat sangat tidak fokus hingga melakukan banyak kesalahan dikala membaca ayat Al-Qur’an, maklum saja siang tadi dia kehilangan boneka kesayanganya, mungkin hatinya masih resah.

(“Mengapa malam ini kamu terlihat tidak konsentrasi nak?”)

Sahut sang ustad, sembari menatap wajah tati yang cemas dan murung dengan raut muka kuning langsat dan mulutnya memanyun. Tetepi temanku ini hanya mengangguk dan sedikit bersuara datar seperti menahan kekesalan

(“Bonekaku hilang siang tadi ustad, sepertinya ada yang mencurinya”) 

 Sebenarnya siang tadi kami tengah bermain, aku dan teman-teman bermain klereng dilapangan yang berdebu dan selebihnya berumput juga sebagianya berkrikil, sementara Tati dan sodara perempuanya bermain boneka berambut pohon pisang klutuk. Tetapi  saat itu kami tidak tahu mengapa boneka tati yang terbuat dari daun pisang dan tangkai singkong yang diikat seutas gelang karet itu bisa hilang?, padahal tuturnya boneka itu ia simpan di depan warung neneknya.

Mungkin saja ada anak lain yang sengaja mengumpatkanya, Dod memang terkenal jahil, namun kami tidak ingin menuduhnya karena mungkin saja Tati tengah lupa menaronya. Sang uztadpun kemudian tersenyum dan menenangkan si bocah yang memasang muka kusut itu dengan nasihatnya

(“Yadusah jangan terlalu difikirkan, toh besok bisa bikin lagikan bonekanya pake daun pisang dan tangkai singkong seperti yang kamu ceritakan tadi!!, sekarang konsentrasi belajar mengaji dulu dengan benar, palingan besok sudah ketemu lagi bonekanya!”)

ia mengangguk pertanda menyetujuinya, beberapa saat kemudian tiba girilanku yang bersila di urutan ke tujuh menghadap ustad untuk mengaji, saat itu aku juga masih belajar IQ-ra. Lumayan lancar aku membacanya meskipun masih “a, ba, a, ba, ta, sa”, lalu seperti biasa setelah kami selesai mengaji, Pak Ustad kami berdakwah atau memberikan kami wejangan  seputar agama laksana sunan, berikut kutipan  yang masih terngiang di kepalaku

(“Anak yang shaleh atau soleha itu yang berbakti dan menurut pada kedua orang tua, apapun yang kita inginkan jika orang tua tidak menghendaki kita tidak boleh memaksanya, rido Allah ada pada rido orang tua”)

senggang waktu kemudian ustadpun mengakhiri pelajaran agama dan menutupnya dengan Bismilah dan salam. Setelah itu aku dan anak-anak lainya bercanda gurau di antrian setapak untuk mengambil wudlu karena memang waktu sudah menunjukan saatnya shalat izha, tiba-tiba seketika terdengar suara binatang melata yang biasa kita sebut tekek, sejenis kadal besar yang suka menempel di dinding

(“Tokototktotkotok….tekek..tokotokotokotok..tekek”)
(hahahahaha nama kamu dipanggiltuh wan, dengerin deh satu, dua, tiga, Tokototktotkotok ..tekek….tokotokotokotok..tekek..”) 

Kutegur Wan Yang mengantri didepanku kemudian para sebaya lainya tak dapat menahan tawanya, lalu berapa lama kemudian salah seorang ustadz yang mengajar para santri menghampiri kami, dan menyuruhku untuk adzan isa

(“Sudah-sudah jangan berisik, jangan bercanda terus, kasiantuh ada orang tua sedang antri mau ambil wudlu,,,!!!”)
(“Baik pak…”) 
 (“Yasudah,,, nanti abis wudlu kamu yang ajan yahhh!” )
(“Baik pak ustad”)

laksana seorang ustad, aku tak lepas semangat untuk mengambil MIC dan bersiap untuk mengumandangkan adzan. Memang saat itu ustadz begitu menyukai suaraku, tak dapat  dipungkiri mungkin saat itu suaraku masih jernih  hingga akhirnya hampir setiap saat ketika aku mengaji beliau selalu menyuruhku adzan. Walaupun masih kecil aku sangat hafal bagaimana cara mengumandangkanya, meski demikian kerap kali juga ada orang tua atau salah seorang temanku yang menggantikanku adzan dikala kami mengaji.

Seiring waktu berlabu  rangkaian mengajipun akhirnya usai, aku dan anak–anak lainya mencari sandal jepit masing-masing, lumayan sulit menemukanya, karena banyaknya santri yang mengaji akibatnya sandal–sandalpun bertumpuk-tumpun di jamban musola.

(“Hey anak-anak jangan berdesakan!!!” )

Kami mlongo saat uztad menegur yang tiba-tiba ada di belakang kami. Selesai sudah hari ini kami menuntut ilmu, lalu kemudian kamipun bergegas pulang, memang rumahku,Wan, Tati dan Dod lebih jauh dari anak-anak yang lain jadi kami kerap pulang pergi berbarengan.

Sepanjang perjalanan, malam itu diatas langit terlihat rasi bintang yang menawan, rembulan dan binar cahaya pesawat yang melewati tepat lurus diatas kepalaku, kedipan dan pancaran silaunya teramat indah, terlihat menakjubkan kala kami memandang lukisanmu yang teramat nyata.

Setibanya dirumahku yang sederhana, rumah dimana angin alam dapat menghembus kedalam melalui  celah-celah pagar yang juga bisa saja kedinginan dikala bertiup angin puyuh dipergantian musim, Ibu menyuruhku belajar untuk persiapan besok sekolah, saat itu aku masih duduk kelas dua di sekolah dasar. Kemudian aku membuka buku tulis kusam itu dan duduk diatas tikar diterangi lampu lima watt sementara ibuku duduk di jamban amben  luar.

Aku membiasakan diri untuk belajar sebelum tidur, malam ini tidak ringan seperti biasanya, karena materi yang harus ku pelajari lebih susah dan banyak. Lama-kelamaan waktu terus berjalan (“Heeeemmmmm !!!”) terasa berat sekali mata ini, apalagi karena hembusan angin yang amat sejuk masuk kedalam rumah, tak luput pula nada seragam para jangkrik semakin membuatku mengantuk, mataku tak bisa egois untuk tetap terjaga. Kemudian bapaku menggendongku ke tempat tidur yang keras itu dan menyelimutiku dengan sarung, malam ini aku tidur lebih malam. Lelap menunggu pagi untuk melakukan sesuatu kembali, malam ini aku tertidur dalam mimpi yang dalam dan menenangkan bersama lelah dan suara-suara jangkrik yang tak pernah kelam dan sirna, sementara besok aku merindukan sambel ibuku.



Title : Mengejar Sekolah
By : Ali Blazing



v
Untuk Ibu,Ibu,Ibu bapaku tercinta,
Orang tua terhebat sepanjang masa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profile Page Screen - Flutter UI

Profile Page Berikut ini adalah contoh  source code untuk Design Profile Page menggunakan flutter,  sebelumnya jangan lupa untuk membua...