Ranggawana


Dipagi yang terang benderang, aku berada di depan gubuk yang kami katakan istana, dimana sekitarnya adalah lahan persawahan tempat dimana orang-orang bekerja dan bertahan hidup menyongsong rezeki, menggantukan kehidupanya yang didapat dari hasil peradaban padi, sang sri putih hasil rengkarnasi gabah yang menjadi kebutuhan pokok mayarakat seantero negri ini.

Aku mendengar para ayam berkukuruyuk, para petani berjalan seperti suara–suara grak jalan paskibraka, tak luput gremicik air selokan dan angin yang mengenai dedaunan di sawah, seragam iramanya terdengar ubahnya nada-nada angklung. Saat itu aku duduk di amben depan emperan rumahku, Aku bersiap memakai sepatu, semantara ibu menyiapkan sarapanku.

Paska sarapan dan semua kebutuhan sekolahku sudah diletakan kedalam tas, aku bergegas ke sekolah seorang diri, karena Tati sedang sakit, wan sudah berangkat terlebih dahulu sementara temanku Dod sedang berlibur di rumah sodaranya di garut dan bapaku tidak dapat menghantarkanku dengan becaknya karena beliau juga sedang terbaring sakit hingga merebahkan diri dan menahan keegoisanya untuk mendorong si roda tiga. Aku berjalan, titah demi titah melangkah menitah jiwa untuk bersemangat, meski hatiku sangat getir melihat keadaan bapak yang lemah. Sementara mereka menggunakan kuda besi dihantarkan ayahnya kesekolah. Saat itu aku berhayal seandainya Bapaku memiliki kuda besi layaknya mereka-meraka itu, tentu pekerjaan Bapak akan lebih ringan paling tidak Bapak akan menjadi tukang ojek motor. Ini lebih baik jika dibandingkan menggoes becak yang berat menempuh puluhan kilo, sekarang telapak kakinya sudah tak bagus rupa.

 Jarak rumahku ke sekolah lumayan jauh sekitar 1 KM. Aku bersekolah di Ranggawana, Ranggawana diambil dari nama mendiang sorang tokoh setempat yang dipercaya sakti mandraguna, begitulah sedikit silsilahnya yang ku kenal.

Setibanya disekolah, Ibu Isa guru kami menyiapkan perlengkapan upacara rutin setiap hari senin dengan jiwa semangat membumbung bak setinggi  gunung Cerme yang selalu terlihat diwaktu fajar dari kampungku, kemudian aku dan teman-teman berdiri di barisan paling depan menghadap tiang pusaka itu, semua nampak dengan sikap siap untuk ambil hormat menunggu para  regu pengibar bendera memberikan aba-aba, setelah para regu pengibar sampai di depan tiang putaka dan benderanya sudah siap dikibarkan kemudian aba-aba itu di lontarkan

(“Bendera siap!”)
Lalu seorang pemimpin upacara memberikan instruksi hormat untuk para regu dan semua peserta upacara kepada sang saka  merah putih
(“Kepada sang saka merah putih Hoooormaaat Grak !!!”)
serentak semua murid tak terkecuali diriku langsung mengambil sikap hormat juga para guru dan para petugas sekolah.

Tangan kiri dalam keadaan lurus kebawah dan dikepalkan, sementara tangan kanan posisi hormat tepat diatas pelipis alis sebelah kanan. Kami semua menghayati berkibarnya sangsaka merah putih itu diiringi dengan lagu kebangsaan  indonesia raya seperti yang ku tuliskan pada lirik berikut

  

INDONESIA RAYA


Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Jadi pandu Ibuku
Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan Tanah Airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku Rakyatku semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Tanahku negriku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya


Cipt. W.R. Supratman



Ketika lirik lagu itu di kumandangkan oleh para regu obade , tidak ada yang memaklumi tangan kananya untuk lurus kebawah, kami ambil sikap hormat ubahnya para pahlawan negeri ini dimasa lalu atau masa-masa ketika negri ini dirundung kesulitan, aku seperti menatap para pejuang di medan pegagan “nama kampungku”.

Tak berapa lama kemudian saat rangkaian upacara telah usai kami semua bergegas masuk kelas, saat itu Ranggawana hanya memiliki 4 ruangan kelas yang digunakan secara bergantian. Ibu Isa memasuki ruangan, namun wajahnya begitu cemas, ujung jari tanganya gemetar dan sorot matanya datar sepertinya beliau melihat ada kegawatan. Jelas saja beliau menghawatirkan kondisi ruangan yang bobrok dan atap-atap yang grepses yang bisa saja menimpa kami.

Aku duduk di meja ke tiga dari deretan pertama posisi sebelah kiri, semua nampak semangat untuk belajar tak terkecuali ibu guru kami yang terlihat sangat cemas dan selalu melirik ke atap-atap langit kelas dikala beliau menggoreskan kapurnya di papan tulis hitam lekat itu. Waktu terus berlabu, tak lama kemudian lonceng kaleng karat berbunyi dua kali, sudah waktunya kami beristirahat dan Ibu guru menyuruh kami semua beristirahat diluar kelas

(“Anak-Anak sudah waktunya istirahat, silakan semua istirahat diluar kelasyahh!”)

 aku melihat beliau lebih segar dari sebelumnya dari wajahnya yang bertumpuk kekawatiran kini nampak lebih baik dan sedikit berseri, juga wajahnya yang merona kembali kuning langsat.

Aku bersama kedua temanku Kom dan Rus bermain di deretan bangku jamban diantara para pedagang dan beberapa teman-teman yang lain membeli banyak makanan, sementara aku lebih memilih untuk berhemat, maklum saja uang sakuku hanya lima ratus rupiah. Sebenarnya aku masih bisa kalau-kalu hanya sekedar ikut menemani jajan bersama teman-temanku walau aku tak bisa membeli apa yang kebanyakan orang beli. Namun aku lebih memilih untuk ditabung untuk jika suwaktu saat aku memerlukanya untuk membeli sepatu atau buku setidaknya ibuku hanya menambahkan sedikit uang bila nantinya keperluanku itu kurang, uang limaratus perak tidak sangat kecil di tahun dua ribuan bagi keluarga kami.

Hari-hari disekolah masih serupa, dijam istirahat  Castadi, Wiwin dan teman–teman lain sedang asik bermain cakdok dan kucing-kucingan di lapangan, mereka mengajaku.
(“Li ayu main cakdok yuk…atau kucing-kucingan bola!”)
Namun aku memikirkan bila aku bermain lari-larian dan  bola, sepatuku sobek atau bolong tentu akan menyusahkan ibu dirumah, ibu pasti perlu waktu untuk membeli sepatu ini lagi terlebih aku sedang asik ngobrol dan bercanda bareng bersama Kom dan Rus, mungkin kala itu emut dan dewi fortuna tak berpikak padaku, dengan terpaksa aku menolak ajakan mereka, jadi hari ini aku hanya duduk becanda bersama kom dan rus, padahal aku ingin sekali bermain cakdok atau kucing kucingan bola bersama mereka, tapi tak apa yang penting ada yang menemaniku, mungkin suatu hari nanti aku dapat berlarian secepat pesawat lepas landas atau kuda liar, hari ini aku lebih memilih menjadi kura-kura jinak.
 
Setengah jam kemudian, tiba-tiba lonceng kaleng berkarat itu dibunyikkan dengan pentungan besi karat jua oleh petugas sekolah, kebisingan  anak-anak bermain dengan suara Cak dok…Cak  dok, yang kena dodok itupun telah lenyap.  Dan ibu Isa kembali memasuki ruangan kelas kami, wajah cemasnya kembali ditunjukan disela–sela belajar, lalu sesaat kemudian satu demi satu dari kami ditanyakan mengenai sebuah impian, Yaahh cita- cita akan sebuah tujuan hidup untuk membawa harapan yang leih baik.

(“Anank-anak , sekarang ibu mau bertanya cita-cita kalian satu persatu..!. Kalian pasti punya cita-citakan..”)
(“Punya bu..!”)

Saat itu temanku Kom mempunyai cita–cita ingin menjadi Pilot atau Astronot, sementara aku ingin menjadi sesosok pahlawan didepanku dialah seorang guru, dan setiap anak ada yang mempunya cita-cita yang sama namun ada juga yang berbeda. Saat pembelajaran berlangsung ada bahasa yang tidak lebih halus dari bahasa ironi yang membuat aku terhanyut dalam kesedihan, aku menangis dalam hati, ragaku gemetar lebih besar dari rasa gemetar dikala menggigil kedinginan bahkan nadiku bergerak tak beraturan juga embun-embun kepalaku yang bak mau meledak. Saat dimana salah seorang temanku menyeletuk

(Bapak kamukan cuman tukang becak, bagaimana mungkin kamu bisa jadi guru? ..hahahahaha…!!!”)

Ketawa itu menghancurkanku seketika, Clotehan itu membuat aku semakin murung dan mati kutu, mungkin aku ingin marah tapi rasa sedih itu menutupi marah ini sampai wajah memerah merona, yah bagaimana mungkin aku tidak sedih dan marah bila bapaku dihina beberapa teman kelasku, sementara aku juga sedih clotehanya seolah tidak adanya harapan bagiku, mereka terkesan membungkan anganku. Ibu Isa menundukan kepalanya kemudian menghembuskan napasnya secara berlahan, lalu beliau mengatakan.

( “Anak–anak jangan brisik ,Teman kalian itu mempunyai cita-cita yang bagus, jadi kita sebagai teman harus mendukung, guru itu sangat berjasa di negri ini, tanpa guru kalian tidak akan menjadi pintar… jadi anak-anak pahamyah..?, semua orang punya kesempatan sama!”)

Aku semakin membisu, tapi kata-kata ibu isa membuatku sedikit lebih lega dan menahan kehilafan, aku semakin yakin akan sebuah harapan itu, suatu hari mungkin ini bukan hanya sekedar harapan kosong, hidup mungkin bagaimana cara kita memikirkanya itulah kata-kata ibuku yang selalu ku ingat. Andaikata nasib seseorang tidak pernah berubah mungkin negara ini tidak akan pernah merdeka dan Pak Soekarno akan gagal mengemban tugasnya. Tapi nasib dapat berubah, kenyataanya Indonesia sekarang merdeka, merdeka dari penjajahan. Yaaah saat itu aku merasa mungkin lebih pantas untuk tersenyum, tersenyum saat itu mampu membuatku percaya kelak kebahagiaan dan cita-cita itu akan ku gapai. Ibu Isa melirik kearahku dengan senyum yang menghilangkan rasa putus asaku. Apa lagi ada foto bung karno sang proklamator di dinding itu, aku semakin percaya kelak aku akan menjelma menjadi seseorang yang berhasil.

Meskipun hari itu  menjadikanku merasa pilu, tapi aku yakin aku pasti bisa melewati perjuangan ini.  suatu hari nanti, Tuhan pasti akan mengijabah semua doa dan usahaku, usaha ibu dan bapaku. Kemudian sayup-sayup kudengar kembali diantara puluhan cita-cita yang terutarakan dari puluhan suara teman–teman kelasku, lalu ibu guru mengatakan bahwa dirinya bangga terhadap semua siswa, menurutnya kami semua mempunyai cita-cita yang mulia, beliau mendoakan kami agar semoga kelak menjadi orang yang berhasil. Hari itu aku berpulang kerumah seusai sekolah sembari membawa doa, harapan juga dorongan semangat dari guruku,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Profile Page Screen - Flutter UI

Profile Page Berikut ini adalah contoh  source code untuk Design Profile Page menggunakan flutter,  sebelumnya jangan lupa untuk membua...