Hari itu adalah hari dimana aku merasa bahagia, Adiku sudah terlahir di dunia ini sejak beberapa waktu yang lalu, dia sangat cantik, cabi dan menggemaskan. Aku duduk bersama temanku Tati, menganyun-ayunkan ayunan adiku yang terbuat dari kain batik yang diiket oleh dua utas tali tambang, sementara adiku yang terbedong direbahkan diatasnya. Kami juga bercanda riang saat adiku tertidur di ayunan itu. Sembari memongmong, kami bermain boneka dan kartu wartet, saat itu tati bercakap dengan bonekanya
(“Panda, kamu sedang ngapain.???” )
Lalu ibuku memotong clotehan sigadis mungil itu, gadis kecil yang selalu riang yang hampir setiap waktu menemani hari-hariku, yang selalu membawa teman-teman bonekanya saat kerumahku
(“Tat,makan sonoh tat udah makan siang belum?, Nang ajak temenya makan sonoh!” )~Ibu
lalu Ibu menyuruh kami makan siang, tanpa disadari memang perutku tengah lapar, menengok kearah jam dinding itu, pantas saja waktu sudah menunjukan pukul setengah 2 siang, sudah saatnya kami makan siang. Aku mengajak tati untuk makan bersama, sementara ibuku mengambil alih adiku.
(“Ayo tat Ambil piringnya dirak piring, cari saja yang sudah kering sebagian masih basah, maklum ibuku baru kelar mencuci…!” )
(“sepertinya sudah kering semua, Oh ya pake lauk apaanya?” ) ~Tati
Dan aku membuka kerudung saji dimeja, tempat dimana lauk itu diletakan, ternyata ibu memasak semur tempe dan ikan goreng yang didapat dari hasil mancing Bapaku beberapa waktu yang lalu.
(“Lauknya semur tempe dan ikan goreng tat..” )
(“Waaahh inisih makanan favoriteku..” )~Tati
“Shyukurlah kalau begitu tat..yasudah ayo kita makan!”
Kami makan siang bersama dengan lauk seadanya di bawah ayunan adiku bersama ibuku. Kami sangat lahap menikmati makanan ini. Selang beberapa lama tiba-tiba aku mendengar becak Bapak di depan, ternyata benar sekali, bapak sudah pulang lebih cepat dari biasanya. Akupun tak lupa untuk mengajaknya makan bersama
(“Pa , makan pak??”)
(“Sudah makan saja, bapak masih leleh, mau ngopi dulu”)~Bpk
Sementara ibuku membuat kopi, Tati telah selesai menghabiskan makananya, dia lebih cepat hanya soal untuk urusan makan, lalu Bi Carem neneknya Tati memanggilnya
(“Tat pulang, nohh ada teman sekolahmu nanyain PR!”)
Kelasku dan kelasnya tati berbeda, saat itu Tati sudah kelas 5 SD, jadi dia adalah kakak kelasku, tetapi aku memanggilnya tidak dengan kata-kata Kakak/Teteh, karena kita sudah berteman sedari kecil dan dia memintaku untuk memanggil namanya sajah, katanya takut disangka sudah tua.
(“Iya ne, tunggu sebentar aku merapikan mainanku dulu” )
saut Tati sembari merapikan mainanya.
Saat aku baru menghabiskan santap siangku ku lihat dia membereskan mainanya yang dia bawa dari rumah yang lumayan banyak, lalu inisiatif aku menawarinya bantuan. Tak menunggu waktu lama seusai Tati Pulang, tiba-tiba tiang-tiang listrik dijalan dibunyikan menggunakan batu Ting…Ting…Ting…Ting…Ting, Serentak Suara-suara Wanita setengah paruh bayah menjerit tandanya malapetaka
(”Cepat–Cepat Cari perlindungan,,,perang sebentar lagi !!”)
Nadanya serak, bunyi Sirinepun terdengar dimana-mana mempringati tanda yang amat gawat. Langkah-langkah kaki para anak muda sudah mulai berhamburan, pemuda-pemuda pilihan yang bertugas mengamankan pertahanan yang dibekali samurai. Suara-suara orang–orang panik sudah semakin keras dan terdengar ubahnya gemuruh. Sejenak ketenangan yang barusan aku rasakan, menjadi suatu yang menakutkan dan suram, laksana desa pegunungan yang tenang asri dan nyamanpun seketika luluh lanta manakala lahar dingin, api dan suara letusan terjadi dan bahkan para binatangpun akan turun tergesa-gesa membabi buta, meninggalkan kekosongan.
Memang Sudah berlangsung perang sejak lama dikampung kami pemicunya persoalan sepele, mulanya hanya karena saling mengejek dan saling mengeraskan urat leher kala anak-anak muda mengikuti pertandingan bola di kampung sebelah, saat itu polisi tak begitu berarti, perang baru usai ketika aku sudah kelas 4 SD. Perang ini tidak bisa diperkirakan, saat kapanpun musuh datang, kami harus siap bertempur atau berlidung, tidak ada toleransi meskipun kami sedang sekolah, sedang mengaji atau bahkan sedang bermain, kami harus cepat-cepat cari perlindungan. Saat itu wajah ibu begitu panik dengan polosnya aku bertanya.
(“Ada apa ya bu, Kok Rameh sekali?”)
(“ Kamutoh malah nanya kaya dak biasa ajah, itu udah mulai perang cepat kamu siap-siap , beresin apa yang mau kamu bawa, kita ngungsi kerumah Ede(panggilan kakek dan nenek dari orang tua Ibuku)!”
Perang ini selalu saja terjadi , tepat di depan dan samping rumahku selalu dijadikan arena untuk genjatan senjata. apalagi dengan lokasi rumahku yang berada paling ujung di utara dan disekitar sampingnya area persawahan semantara didepan rumah ada dermaga perdesaan, hal ini menjadi lokasi yang empuk untuk berperang apalagi musuh datang dari arah utara maka disinilah lokasi pertama lalu lintas para perusuh yang sok pembrani.Tepat di dermaga, didepan rumah kami sudah siap para pemuda berbadan algojo-algojo dan para pemuda desa berjaga–jaga menanti kedatangan musuh. Setelah ibu menyiapkan keperluan untuk mengungsi adiku digendong dengan Tapih yang di balut di punggung Ibuku, kemudian adiku diselimuti agar tidak masuk angin dia tertidur di dekapan Ibu sementara bapaku menyiapkan becaknya untuk pergi mengungsi.
(“Ayo cepat Naik becak, biar cepat sampai, buruan sebentar lagi musuh sampai!”)
Bapak meminta kami untuk cepat bergegas, sementara orang-orang lain sudah lebih cepat sampai di tempat perlindungan masing-masing, maklum saja karena mereka memiliki kuda bertenaga mesin.
Sesampainya dirumah Ede, Bapak langsung pamit pulang untuk menjaga rumah, kawatir musuh masuk atau membakar rumah, ini memaksa Bapak untuk menjaga rumah dan ikut berperang bersama. Dalam hati kami sungguh kawatir jika seandainya terjadi hal buruk dengan bapak, tetapi kami meyakinkan diri pasti Tuhan melindunginya, sembari kami mendoakanya. Lama kelamaan, jam terus berputar dan berlalu, semakin banyak suara-sura gemuruh di sekitar rumah Ede, tak ku sangka bapak datang tergesa-gesa ke tempat kami, kemudian bapak meminta kami untuk lari, mencari tempat pengungsian yang lain, kemudian kami mengungsi lagi di pertengahan sawah yang jauh dari lokasi perang, lokasiya berbatasan dengan lahan sawah desa sebelah, otot-otot betis kaki kami rasanya mengencang, akibat kami berlari terus-menerus.
Bapak menyertai kami ke lokasi tersebut karena kata bapak Musuh berhasil menerobos masuk pertahanan dan sekarang sudah sampai sekitar rumah Ede. Aku, Ibu dan Ede perempuan serta Kom diungsikan oleh bapak di pertengangah sawah yang tidak memungkinkan musuh menjamahnya, Sementara Ede laki-laki tetap ditempat untuk menjaga rumah.
(“Lantas bagaimana dengan rumah kita pak?” )
(“Tenang, tak usah kawatir sudah ada kakekmu yang jaga(ayah dari bapak), kakekmu itu orang sakti jadi tak usah kawatir. Lagipula sebentar lagi bapak kembali kesana untuk menemani kakek menjaga rumah dan ikut berperang !!” )
Setelah bapak menyertai kami sampai pada tujuan, setibanya disana bapak bergegas kembali ke lokasi untuk ikut berperang dan menjaga rumah.
(“Yasudah kalian ati2 ya disini, klo ada apa-apa cepat pergi cari tempat berlindung yang aman lagi, bapak mau kelokasi…Bapak pamitbu…”)
(“Yasudah,,ati-ati loh pak!”)
Ternyata tak ku duga, ditempat ini juga banyak terdapat orang-orang mengungsi, hampir semua pengungsi memilih lokasi ini untuk berlindung dan menyembunyikan diri, Kamipun disana bercengkrama dengan pengungsi-pengungsi lain, Kami akan tetap berada disini sampi para musuh berhasil diusir Sementara aku tidak melihat teman-teman dekatku yang lain disini, mugkin mereka berada ditempat perlindungan yang berbeda, jadi aku hanya bermain-main bersama kom dan anak-anak pengungsi lain yang baru saja kukenal.
Kami anak- anak bermain dengan riang ubahnya tidak ada beban dan sesekali aku meledeki adiku yang dipangkuan ibuku. Kerap kali jua Ibu-Ibu menyuruh kami untuk mengintip dari atas pohon kawatir ada musuh yang mendekat. Setiap ibu-ibu memegang senjata entah golok, balok, pedang atau linggis untuk berjaga-jaga juga senter untuk keperluan penerangan di malam hari sementara anak-anak yang beranjak remaja dibekali ketapel untuk menyerang musuh yang mau mendekat tak lupa pula membawa makanan untuk keperluan perut dan tenaga. Kami bertahan ditempat ini berjam-jam lamanya, sampai musuh berhasil diusir. Ketika malam hari menjelang, keadaan sudah kembali normal, para musuh-musuh berhasil diusir dan kami kembali kerumah masing-masing dengan selamat sembari melihat jalanan rusak luluh lanta, momen itu adalah momen kelam yang selalu kuingat dan tak terlupakan juga sandungan dalam bermimpi, sederhana saja, kami bermimpi menginginkan kedamaian, ketentraman dan keindahan dikala dihari-hari kami.
Title : Mengejar Sekolah
By : Ali Blazing
v
Untuk Ibu,Ibu,Ibu bapaku tercinta,
Orang tua terhebat sepanjang masa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar